Impian Rina
oleh Siti Harisah
“Anak-anak ibu minta perhatiannya
sebentar! Coba masing-masing lihat jam!” suara bu Maya langsung memecahkan
kebisingan, membuyarkan setiap lamunan dan merubah suasana dalam bis yang
tadinya ceria seketika tegang. Maklumlah, dalam bis ini isinya para anak remaja
galau kecuali pak supir, kenek, dan bu Maya. Hening, sebentar lagi setiap anak
dalam bis ini akan mengetahui kelanjutan hidupnya selama tiga tahun kedepan.
“Nah, udah pada lihat jam semua
kan?” seru bu Maya.
“Udah buuuu…..” suara mereka
serempak.
“Ya, sekarang sudah menunjukkan
pukul 10.00 wib, saatnya ibu memberi tahukan kepada kalian hasil Ujian Nasional
kalian!” Ujar bu Maya.
Seketika raut muka teman-temanku yang sedang dalam
perjalanan studytour menuju kota
Bandung ini berubah, begitu pula aku. Tidak terasa keringat dingin mulai
mengumpul di sekitar dahi dan telapak tanganku. Kulirik Shinta sahabat yang
duduk di sebelahku pun raut mukanya mulai berubah menjadi serius. Dengan pipi
super tembam dan wajah polos blasteran Jawa-Arab
serta ekspresi galau menunggu nilainya keluar sungguh lucu. Hahahha tapi
aku sedang tidak berminat untuk meledek atau mengganggunya, mukaku sendiri
mungkin ekspresinya jauh lebih buruk dan jauh lebih aneh.
“Iya bu, udah jam 10 nih, cepetan
dong bu kasih tahu nilainya, penasaran banget nih. Rasanya itu kayak lagi
nunggu azan magrib pas puasa. Deg deg
serrrr!” seru Rizal sang ketua kelas yang sering ceplas-ceplos itu.
“Iya sabar dong, sini kamu bantuin
ibu bacakan hasil nilai ujian teman-teman kamu ini di depan!” ujar bu Maya.
“oke bu!” seru Rizal sambil
melangkah ke depan sambil nyengir kuda.
Aku fikir hanya Rizal di situasi
segenting ini bisa-bisanya nyengir kayak gitu.
Satu per-satu nilai dibacakan dan alhasil ekspresi
kawan-kawanku pun langsung berubah menjadi berbagai macam. Semua ketegangan
menguap menjadi senyuman sumringah super membahana ataupun tangisan yang sangat
memilukan.
Berjarak dua bangku depanku, si
Stella gadis manis yang lembut itu seketika menggumpalkan tangannya meninju
atap langit bis sambil bersorak “Yes !!! Alhamdulillah….!” Lalu Stella sibuk
mencari handphone lalu mengabarkan ke
keluarganya berita gembira ini, sepertinya Stella berada di posisi sangat aman
untuk masuk ke sekolah idamannya. Ah mungkin hatinya sekarang jauh lebih banyak
bunga dibandingkan dengan kota kembang ini.
Si Agus, sahabat bermainku dan
teman yang cukup setia ini juga ekspresinya berubah, senyum super sumringah iya
tebar sepanjang jalan. Nilainya sungguh baik dan memuaskan. Aku ingat, kami
pernah berjanji untuk masuk ke SMA yang sama, ya harapan indah dua orang
sahabat untuk masuk ke sebuah SMA favorit.
Sebelah kiri, selang satu bangku
dari tempat dudukku Tara tak kuasa menahan air mata karena hasil nilainya yang
rendah, sedangkan Shinta sahabatku yang tadi mukanya sangat lucu itu pun
langsung menunduk dalam saat nilainya selesai dibacakan oleh Rizal sang ketua
kelas. Ya, Shinta juga mendapatkan nilai yang cukup rendah, namun memang tidak
serendah Tara.
Sedangkan aku? Hmmm sebenarnya
hatiku sangat sedih, hatiku remuk karena nilai yang ku dapatkan tidak seperti
prediksi dan hasil tryout sebelumnya yang jauh lebih bagus. Sungguh, tapi saat
itu aku tidak layak bersedih apalagi menangis, karena nilaiku masih diatas Tara
dan Shinta namun dibawah Agus dan Stella. Aku datar, namun mencoba memberikan
semangat kepada Tara dan Shinta. Harusnya saat itu aku bersyukur karena nilaiku
termasuk aman untuk masuk SMA negeri yang baik, tapi bukan yang aku impikan.
Aku sadar betul nilaiku baik, namun saingan yang sangat banyak akan menanti di
pintu gerbang SMA Citra Bangsa. Aku gelisah, nilaiku meragukan dan di ambang
batas. Bagaimana dengan nasibku nanti? Ah hanya Tuhan yang Maha Tahu.
Dengan kecepatan sedang bis terus
melaju, menuju kota tujuan kami, kota kembang untuk melaksanakan acara perpisahan.
# # #
Sesampainnya
di Bandung, kami melupakan suasana dalam bis tepat pukul 10.00 wib tadi. Di
kota ini kami bersuka ria bermain, berkejaran, dan berfoto yang mungkin untuk
terakhir kalinya bersama teman SMP, dilanjutkan dengan makan siang yang hmmmm
yummy! sehari full kami bergembira, tak ada satupun dari kami yang mencoba
merusak suasana dengan membahas nilai Ujian Nasional. Sejenak, kami biarkan
aura dalam bis tadi pagi menguap di langit-langit kota kembang ini. Matahari
mulai bergeser dari tahtanya, senja pun menyembul dengan cantiknya. Rombongan
mulai bergegas melakukan perjalanan pulang. Tidak banyak kata selama perjalanan
pulang. Sebagian besar kelelahan dan tertidur dengan pulasnya dalam bis,
sedangkan aku asyik melayang dengan lamunan dan mencoba memprediksi SMA mana
yang akan menerimaku.
# # #
Pukul
12.00, Hari ini adalah hari ketiga pendaftaran SMA, semua bisa diproses secara online dan hasilnya bisa kita lihat dari
rumah. Huaaa, aku makin kacau saja. Sejauh ini sih namaku masih berada di SMA
Citra Bangsa, impianku sejak dahulu. SMA Citra Bangsa adalah SMA kakakku dahulu,
betapa malunya aku pada kakak dan kedua orangtuaku jika aku sampai tidak di
terima. Sekarang posisi namaku ada di urutan bawah, garda terbelakang, calon
lengser jika ada 3 orang saja yang nilainya lebih tinggi dariku memilih SMA
Citra Bangsa juga, maka tamatlah riwayatku. Jantungku semakin berdegup kencang,
tak sabar menunggu jam 3, final dari semuanya. Sejauh ini akupun berharap
posisiku bertahan di SMA Citra Bangsa.
Bunyi ringtone telepon rumah dari arah ruang
tamu memecah suasana
“Rina,
ada telepon, tolong angkat ya nak!” seru bunda dari dapur.
“Iya
bun, sebentar!” sahutku dari dalam kamar sambil bergegas berjalan kearah ruang
tamu tempat telepon berdering.
“Halo,
Assalamualaikum!” sapaku ramah kepada orang yang menelepon.
“Walaikumsalam
Rin, ini gue Agus!” sahut Agus dari sebrang telepon.
“Eh,
elu gus, kenapa?” tanyaku mulai malas.
“Lemes
banget suara lu, Rin, nama kita masih ada di SMA Citra Bangsa loh! lu yang excited dong!” seru Agus bersemangat
“Iya,
terus kenapa? Lu mah enak namanya masih di urutan atas, posisi lu aman banget
gus, lah gua? Gawat darurat militer! Udah bahaya nih. Calon di lempar sebentar
lagi, nggak usah banyak orang, cukup tiga orang aja yang masuk, riwayat gue di
Citra Bangsa tamat gus!” seruku getir.
“Ah,
elu pesimis banget Rin! Makanya berdo’a, gue bantu do’a dari sini. Lu semangat
dong, berdo’a yang khusyuk!” suara
Agus dari sana masih terdengar bersemangat.
“Iya, waktunya
tinggal sedikit lagi. Semoga ya. Lu bantu do’anya yang bener ya biar makbul” sahutku
mencoba positive thingking seperti
Agus.
“Oke
Rin! Cumungut yaaa!” ledek Agus.
“Iya
bawel! alay banget bahasa lu!” aku sewot.
“hahahaha.
yaudah yaa, wasalam. Nanti jam 3 sore gue telpon lu lagi, kita lihat hasilnya!”
“oke, walaikumsalam….!”
# # #
Mataku
bengkak, air mataku tak kunjung surut, lemas, sedih. Selama ini aku
gembar-gembor ke seluruh penjuru dunia bahwa aku akan masuk SMA Citra Bangsa.
Memang aku sendiri pun merasa bahwa itu berlebihan, namun duniaku sekarang
seolah runtuh. Aku malas sekolah, aku tidak mau sekolah di tempat lain. Ya, di
menit-menit terakhir aku di depak dari SMA Citra Bangsa keluar, dan sekarang aku
masuk di pilihan keduaku yang sama sekali tidak aku harapkan. Aku diterima di
SMA Tunas Muda yang meskipun akreditasnya cukup baik dan banyak peminatnya,
tetapi tetap saja, Tunas Muda bukan impianku, aku kecewa, sangat kecewa. Sahabatku
Agus berhasil masuk SMA Citra Bangsa, dan soal sahabatku yang lain seperti
Shinta dan Tara, kabarnya aku dengar mereka masuk SMA Swasta.
# # #
Hari
pertama masuk SMA pun dimulai, aku terpaksa masuk diantar oleh kakakku yang
saat itu sedang libur kuliah, motornya tepat berhenti di depan pintu gerbang
sekolah. Sebuah hal langka aku diantar kakakku, biasanya aku disuruh naik
angkot sendiri. Ya, orangtuaku menyuruh kakakku untuk mengantar ke sekolah
baru. Mungkin karena keluargaku takut aku kabur dan membolos karena kecewa
berat masuk SMA Tunas Muda, fikirku dalam hati.
“Rina
pesek! Sekolah yang bener ya! Eh nanti lu baliknya gimana?” seru kakakku.
“Ah
sekate-kate banget lu kalo ngomong, gampang soal pulang mah! Yaudah ya, udah
mau masuk gue, daaah!” seruku sambil turun dari motor dan berjalan memasuki
gerbong sekolah dengan lemas dan ekspresi datar.
“Rinaaa!”
teriak seseorang dari jauh.
“Eeeh?”
aku celingak-celinguk mencari sumber suara.
“Ini
gue, temen SD lu!” seru cewek yang sekarang tepat berhadapan di depanku, dengan
style yang sangat aneh, yaaa rambut
keriting dan kacamata besar. Kuno abis!
“Ooooh Firda
ya?” jawabku ragu.
“Iyaa,
ini gue Firda, lu masuk SMA ini juga? Enak dong kita barengan lagi!” seru Firda
bersemangat.
“hmmm,
iya mungkin bakal seru!” jawabku pendek tidak bersemangat.
“Lu
kelas berapa?” tanyanya makin antusias.
“10C!”
aku semakin malas mejawab.
“Waaah,
sama! kita duduk bareng ya!” seru Firda.
“Iya!”
jawabku singkat. Karena kebetulan aku belum mempunyai teman sebangku dan akupun
bingung dengan semua suasana baru ini. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju
kelas 10C.
Sampai
di kelas, kami mencari bangku yang paling strategis. Baru sebentar kami duduk,
masuklah dua senior dengan seragam putih-abu-abu yang cool dan kece abis. Kedua senior itu berhasil membuat semua mata di
kelas baruku tertuju kapada mereka. Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung
memperkenalkan diri, yang satu namanya kak Andi, dan yang satu lagi namanya kak
Tyara. Setelah perkenalan mereka selesai, mereka pun memberi instruksi kepada
kami agar kami yang gantian memperkenalkan diri.
“Oke
adik-adik biar lebih akrab nih, coba kalian perkenalkan diri masing-masing!
Nama lengkap dan alasan memilih sekolah ini!” seru kak Tyara.
Satu
per satu siswa baru kelas 10C ini dengan semangat memperkenalkan diri. Alasan
masuk SMA ini juga beraneka macam, ada yang bilang bahwa ini memang
cita-citanya, ada yang bilang disuruh orangtua, ada yang mengaku disuruh kakak,
dan juga yang bilang kalau SMA ini dekat dari rumahnya. Sejauh ini suasana
masih nyaman dan semuanya berjalan lancar, sampai tiba di giliranku.
“Oke,
perkenalkan nama saya Rina Rizky Lestari, hmmmm alasan saya memilih sekolah ini
karena ini pilihan kedua, saya lengser dari SMA Citra Baangsa!” seruku seadanya.
#jger! Semua mata langsung
menatapku tajam, terutama kak Andi dan Kak Tyara. Terlihat sekali bahwa mereka
semua kaget dan entahlah, aku takbisa menggambarkan situasi saat itu.
“Aduh mati deh gue, salah ngomong ya?’ bisikku pada pada
Firda.
Firda menggelengkan kepala dan mengangkat bahu.
“Sekolah ini juga bagus kok dek, harusnya kamu bersyukur
bisa diterima disini, tahun ini peminatnya seribu lebih, dan hanya tiga ratus
orang yang diterima. Kamu termasuk beruntung bisa diterima disini. Gurunya juga
sangat berkompeten dan banyak kegiatan menarik di sekolah ini. Coba aja, nanti
kamu juga bakal ngerasain itu sendiri!” sambar kak Andi.
“Eeeeh… Iyaa kaak, Alhamdulillah bisa diterima disini!”
jawabku kelu.
# # #
Benar
saja, selang tiga bulan. Ujian blok pertama pada semester ini diselenggarakan,
menurutku soalnya itu sangat susah. Hasilnya pun sudah bisa ditebak, aku tidak
lulus standar ketuntasan minimal. Firda teman sebangkuku yang pas pertama kali
masuk SMA gayanya gak banget itu nilainya melejit dengan nilai sempurna. Aku
tertegun dan berlari ke tolilet sekolah, aku sangat sedih dengan nilaiku. Saat
aku sedang terisak dalam toilet, Firda datang dengan cantiknya menghampiriku
bagai bidadari. Firda berjanji akan mengajariku untuk menempuh ujian remedial
yang seminggu lagi akan diadakan. Dan bukan hanya Firda, guruku pun dengan
tulus memberi pelajaran tambahan kepada kami yang tidak lulus sampai
benar-benar mengerti materinya. Ujian remedial pun digelar, hasilnya aku lulus
meski dengan nilai seadanya, namun aku bangga karena sekarang aku mengerti
materinya. Dan dengan berjalannya hari, semakin lama kecintaanku pada sekolah
ini mulai tumbuh, awalnya satu, lalu bagai terkena virus yang mahadasyat cinta
itu menjalar dengan cepat dan menginfeksi seluruh jiwaku. Sekarang dan
selamanya, aku akan mencintai sekolah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar