Sabtu, 11 Mei 2013

#cerpen Impian Rina


Impian Rina
 oleh Siti Harisah

“Anak-anak ibu minta perhatiannya sebentar! Coba masing-masing lihat jam!” suara bu Maya langsung memecahkan kebisingan, membuyarkan setiap lamunan dan merubah suasana dalam bis yang tadinya ceria seketika tegang. Maklumlah, dalam bis ini isinya para anak remaja galau kecuali pak supir, kenek, dan bu Maya. Hening, sebentar lagi setiap anak dalam bis ini akan mengetahui kelanjutan hidupnya selama tiga tahun kedepan.
“Nah, udah pada lihat jam semua kan?” seru bu Maya.
“Udah buuuu…..” suara mereka serempak.
“Ya, sekarang sudah menunjukkan pukul 10.00 wib, saatnya ibu memberi tahukan kepada kalian hasil Ujian Nasional kalian!” Ujar bu Maya.

Seketika raut muka teman-temanku yang sedang dalam perjalanan studytour menuju kota Bandung ini berubah, begitu pula aku. Tidak terasa keringat dingin mulai mengumpul di sekitar dahi dan telapak tanganku. Kulirik Shinta sahabat yang duduk di sebelahku pun raut mukanya mulai berubah menjadi serius. Dengan pipi super tembam dan wajah polos blasteran Jawa-Arab serta ekspresi galau menunggu nilainya keluar sungguh lucu. Hahahha tapi aku sedang tidak berminat untuk meledek atau mengganggunya, mukaku sendiri mungkin ekspresinya jauh lebih buruk dan jauh lebih aneh.

“Iya bu, udah jam 10 nih, cepetan dong bu kasih tahu nilainya, penasaran banget nih. Rasanya itu kayak lagi nunggu azan magrib pas puasa. Deg deg serrrr!” seru Rizal sang ketua kelas yang sering ceplas-ceplos itu.
“Iya sabar dong, sini kamu bantuin ibu bacakan hasil nilai ujian teman-teman kamu ini di depan!” ujar bu Maya.
“oke bu!” seru Rizal sambil melangkah ke depan sambil nyengir kuda.
Aku fikir hanya Rizal di situasi segenting ini bisa-bisanya nyengir kayak gitu.

Satu per-satu nilai dibacakan dan alhasil ekspresi kawan-kawanku pun langsung berubah menjadi berbagai macam. Semua ketegangan menguap menjadi senyuman sumringah super membahana ataupun tangisan yang sangat memilukan.

Berjarak dua bangku depanku, si Stella gadis manis yang lembut itu seketika menggumpalkan tangannya meninju atap langit bis sambil bersorak “Yes !!! Alhamdulillah….!” Lalu Stella sibuk mencari handphone lalu mengabarkan ke keluarganya berita gembira ini, sepertinya Stella berada di posisi sangat aman untuk masuk ke sekolah idamannya. Ah mungkin hatinya sekarang jauh lebih banyak bunga dibandingkan dengan kota kembang ini.

Si Agus, sahabat bermainku dan teman yang cukup setia ini juga ekspresinya berubah, senyum super sumringah iya tebar sepanjang jalan. Nilainya sungguh baik dan memuaskan. Aku ingat, kami pernah berjanji untuk masuk ke SMA yang sama, ya harapan indah dua orang sahabat untuk masuk ke sebuah SMA favorit.
Sebelah kiri, selang satu bangku dari tempat dudukku Tara tak kuasa menahan air mata karena hasil nilainya yang rendah, sedangkan Shinta sahabatku yang tadi mukanya sangat lucu itu pun langsung menunduk dalam saat nilainya selesai dibacakan oleh Rizal sang ketua kelas. Ya, Shinta juga mendapatkan nilai yang cukup rendah, namun memang tidak serendah Tara.

Sedangkan aku? Hmmm sebenarnya hatiku sangat sedih, hatiku remuk karena nilai yang ku dapatkan tidak seperti prediksi dan hasil tryout sebelumnya yang jauh lebih bagus. Sungguh, tapi saat itu aku tidak layak bersedih apalagi menangis, karena nilaiku masih diatas Tara dan Shinta namun dibawah Agus dan Stella. Aku datar, namun mencoba memberikan semangat kepada Tara dan Shinta. Harusnya saat itu aku bersyukur karena nilaiku termasuk aman untuk masuk SMA negeri yang baik, tapi bukan yang aku impikan. Aku sadar betul nilaiku baik, namun saingan yang sangat banyak akan menanti di pintu gerbang SMA Citra Bangsa. Aku gelisah, nilaiku meragukan dan di ambang batas. Bagaimana dengan nasibku nanti? Ah hanya Tuhan yang Maha Tahu. 

Dengan kecepatan sedang bis terus melaju, menuju kota tujuan kami, kota kembang untuk melaksanakan acara perpisahan.
# # #
                Sesampainnya di Bandung, kami melupakan suasana dalam bis tepat pukul 10.00 wib tadi. Di kota ini kami bersuka ria bermain, berkejaran, dan berfoto yang mungkin untuk terakhir kalinya bersama teman SMP, dilanjutkan dengan makan siang yang hmmmm yummy! sehari full kami bergembira, tak ada satupun dari kami yang mencoba merusak suasana dengan membahas nilai Ujian Nasional. Sejenak, kami biarkan aura dalam bis tadi pagi menguap di langit-langit kota kembang ini. Matahari mulai bergeser dari tahtanya, senja pun menyembul dengan cantiknya. Rombongan mulai bergegas melakukan perjalanan pulang. Tidak banyak kata selama perjalanan pulang. Sebagian besar kelelahan dan tertidur dengan pulasnya dalam bis, sedangkan aku asyik melayang dengan lamunan dan mencoba memprediksi SMA mana yang akan menerimaku.
# # #
                Pukul 12.00, Hari ini adalah hari ketiga pendaftaran SMA, semua bisa diproses secara online dan hasilnya bisa kita lihat dari rumah. Huaaa, aku makin kacau saja. Sejauh ini sih namaku masih berada di SMA Citra Bangsa, impianku sejak dahulu. SMA Citra Bangsa adalah SMA kakakku dahulu, betapa malunya aku pada kakak dan kedua orangtuaku jika aku sampai tidak di terima. Sekarang posisi namaku ada di urutan bawah, garda terbelakang, calon lengser jika ada 3 orang saja yang nilainya lebih tinggi dariku memilih SMA Citra Bangsa juga, maka tamatlah riwayatku. Jantungku semakin berdegup kencang, tak sabar menunggu jam 3, final dari semuanya. Sejauh ini akupun berharap posisiku bertahan di SMA Citra Bangsa.
                Bunyi ringtone telepon rumah dari arah ruang tamu memecah suasana
                “Rina, ada telepon, tolong angkat ya nak!” seru bunda dari dapur.
                “Iya bun, sebentar!” sahutku dari dalam kamar sambil bergegas berjalan kearah ruang tamu tempat telepon berdering.
                “Halo, Assalamualaikum!” sapaku ramah kepada orang yang menelepon.
                “Walaikumsalam Rin, ini gue Agus!” sahut Agus dari sebrang telepon.
                “Eh, elu gus, kenapa?” tanyaku mulai malas.
                “Lemes banget suara lu, Rin, nama kita masih ada di SMA Citra Bangsa loh! lu yang excited dong!” seru Agus bersemangat
                “Iya, terus kenapa? Lu mah enak namanya masih di urutan atas, posisi lu aman banget gus, lah gua? Gawat darurat militer! Udah bahaya nih. Calon di lempar sebentar lagi, nggak usah banyak orang, cukup tiga orang aja yang masuk, riwayat gue di Citra Bangsa tamat gus!” seruku getir.
                “Ah, elu pesimis banget Rin! Makanya berdo’a, gue bantu do’a dari sini. Lu semangat dong, berdo’a yang khusyuk!” suara Agus dari sana masih terdengar bersemangat.
                “Iya, waktunya tinggal sedikit lagi. Semoga ya. Lu bantu do’anya yang bener ya biar makbul” sahutku mencoba positive thingking seperti Agus.
                “Oke Rin! Cumungut yaaa!” ledek Agus.
                “Iya bawel! alay banget bahasa lu!” aku sewot.
                “hahahaha. yaudah yaa, wasalam. Nanti jam 3 sore gue telpon lu lagi, kita lihat hasilnya!”
“oke, walaikumsalam….!”
# # #
                Mataku bengkak, air mataku tak kunjung surut, lemas, sedih. Selama ini aku gembar-gembor ke seluruh penjuru dunia bahwa aku akan masuk SMA Citra Bangsa. Memang aku sendiri pun merasa bahwa itu berlebihan, namun duniaku sekarang seolah runtuh. Aku malas sekolah, aku tidak mau sekolah di tempat lain. Ya, di menit-menit terakhir aku di depak dari SMA Citra Bangsa keluar, dan sekarang aku masuk di pilihan keduaku yang sama sekali tidak aku harapkan. Aku diterima di SMA Tunas Muda yang meskipun akreditasnya cukup baik dan banyak peminatnya, tetapi tetap saja, Tunas Muda bukan impianku, aku kecewa, sangat kecewa. Sahabatku Agus berhasil masuk SMA Citra Bangsa, dan soal sahabatku yang lain seperti Shinta dan Tara, kabarnya aku dengar mereka masuk SMA Swasta.
# # #
                Hari pertama masuk SMA pun dimulai, aku terpaksa masuk diantar oleh kakakku yang saat itu sedang libur kuliah, motornya tepat berhenti di depan pintu gerbang sekolah. Sebuah hal langka aku diantar kakakku, biasanya aku disuruh naik angkot sendiri. Ya, orangtuaku menyuruh kakakku untuk mengantar ke sekolah baru. Mungkin karena keluargaku takut aku kabur dan membolos karena kecewa berat masuk SMA Tunas Muda, fikirku dalam hati.
                “Rina pesek! Sekolah yang bener ya! Eh nanti lu baliknya gimana?” seru kakakku.
                “Ah sekate-kate banget lu kalo ngomong, gampang soal pulang mah! Yaudah ya, udah mau masuk gue, daaah!” seruku sambil turun dari motor dan berjalan memasuki gerbong sekolah dengan lemas dan ekspresi datar.
                “Rinaaa!” teriak seseorang dari jauh.
                “Eeeh?” aku celingak-celinguk mencari sumber suara.
                “Ini gue, temen SD lu!” seru cewek yang sekarang tepat berhadapan di depanku, dengan style yang sangat aneh, yaaa rambut keriting dan kacamata besar. Kuno abis!
                “Ooooh Firda ya?” jawabku ragu.
                “Iyaa, ini gue Firda, lu masuk SMA ini juga? Enak dong kita barengan lagi!” seru Firda bersemangat.
                “hmmm, iya mungkin bakal seru!” jawabku pendek tidak bersemangat.
                “Lu kelas berapa?” tanyanya makin antusias.
                “10C!” aku semakin malas mejawab.
                “Waaah, sama! kita duduk bareng ya!” seru Firda.
                “Iya!” jawabku singkat. Karena kebetulan aku belum mempunyai teman sebangku dan akupun bingung dengan semua suasana baru ini. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju kelas 10C.

                Sampai di kelas, kami mencari bangku yang paling strategis. Baru sebentar kami duduk, masuklah dua senior dengan seragam putih-abu-abu yang cool dan kece abis. Kedua senior itu berhasil membuat semua mata di kelas baruku tertuju kapada mereka. Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung memperkenalkan diri, yang satu namanya kak Andi, dan yang satu lagi namanya kak Tyara. Setelah perkenalan mereka selesai, mereka pun memberi instruksi kepada kami agar kami yang gantian memperkenalkan diri. 

                “Oke adik-adik biar lebih akrab nih, coba kalian perkenalkan diri masing-masing! Nama lengkap dan alasan memilih sekolah ini!” seru kak Tyara.
                Satu per satu siswa baru kelas 10C ini dengan semangat memperkenalkan diri. Alasan masuk SMA ini juga beraneka macam, ada yang bilang bahwa ini memang cita-citanya, ada yang bilang disuruh orangtua, ada yang mengaku disuruh kakak, dan juga yang bilang kalau SMA ini dekat dari rumahnya. Sejauh ini suasana masih nyaman dan semuanya berjalan lancar, sampai tiba di giliranku.
                “Oke, perkenalkan nama saya Rina Rizky Lestari, hmmmm alasan saya memilih sekolah ini karena ini pilihan kedua, saya lengser dari SMA Citra Baangsa!” seruku seadanya.
#jger! Semua mata langsung menatapku tajam, terutama kak Andi dan Kak Tyara. Terlihat sekali bahwa mereka semua kaget dan entahlah, aku takbisa menggambarkan situasi saat itu.
“Aduh mati deh gue, salah ngomong ya?’ bisikku pada pada Firda.
Firda menggelengkan kepala dan mengangkat bahu.
“Sekolah ini juga bagus kok dek, harusnya kamu bersyukur bisa diterima disini, tahun ini peminatnya seribu lebih, dan hanya tiga ratus orang yang diterima. Kamu termasuk beruntung bisa diterima disini. Gurunya juga sangat berkompeten dan banyak kegiatan menarik di sekolah ini. Coba aja, nanti kamu juga bakal ngerasain itu sendiri!” sambar kak Andi.
“Eeeeh… Iyaa kaak, Alhamdulillah bisa diterima disini!” jawabku kelu.
# # #
                Benar saja, selang tiga bulan. Ujian blok pertama pada semester ini diselenggarakan, menurutku soalnya itu sangat susah. Hasilnya pun sudah bisa ditebak, aku tidak lulus standar ketuntasan minimal. Firda teman sebangkuku yang pas pertama kali masuk SMA gayanya gak banget itu nilainya melejit dengan nilai sempurna. Aku tertegun dan berlari ke tolilet sekolah, aku sangat sedih dengan nilaiku. Saat aku sedang terisak dalam toilet, Firda datang dengan cantiknya menghampiriku bagai bidadari. Firda berjanji akan mengajariku untuk menempuh ujian remedial yang seminggu lagi akan diadakan. Dan bukan hanya Firda, guruku pun dengan tulus memberi pelajaran tambahan kepada kami yang tidak lulus sampai benar-benar mengerti materinya. Ujian remedial pun digelar, hasilnya aku lulus meski dengan nilai seadanya, namun aku bangga karena sekarang aku mengerti materinya. Dan dengan berjalannya hari, semakin lama kecintaanku pada sekolah ini mulai tumbuh, awalnya satu, lalu bagai terkena virus yang mahadasyat cinta itu menjalar dengan cepat dan menginfeksi seluruh jiwaku. Sekarang dan selamanya, aku akan mencintai sekolah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar