Sabtu, 31 Mei 2014

Aku VS Anatomi

ilustrasi gambar http://mustlieliek.wordpress.com/

Buatku anatomi selalu menjadi hal yang sangat“Prestige”. Bagaimana tidak, setiap praktikum nilai pretestku harus lulus standar Lab Anatomi. Dengan bahan buku modul seadanya, bahkan beberapa blok terakhir tanpa buku modul. Aku harus belajar sendiri. Dan jika aku tidak lulus aku akan diusir secara hina dan tidak diizinkan untuk belajar dengan teman sekelasku yang lulus.

Bukan hanya itu, yang lebih membuataku sadar bahwa anatomi adalah hal yang cukup bergengsi di Fakultas Kedokteran  ini adalah karena setiap nilai tentamen dipajang di depan Lab Anatomi. Dan yang membanggakan bagi yang mempunyai nilai tertinggi akan ada tanda “Merah” di namanya. Ketika aku berada di kerumunan mahasiswa satu lettingku yang berebutan melihat hasil tentamen akan terdengar suara dari berbagai arah “Wuusss keren banget si fulan nilainya”. Saat itu pula aku mengangguk-angguk setuju.

Semester dua. Bahan untuk masuk praktikum anatomi pertamaku sudah aku pegang bahkan semenjak awal libur semester. Beramodal bahan yang aku dapatkan dari teman-teman, juga belajar teori seadanya aku masuk praktikum pertama. Alhamdulillah… kali pertama pretest anatomiku mulus.

Sampai pada pos demi pos, aku tidak pernah menyangka bahwa sedikit saja ada lubang, atau tonjolan yang bahkan tidak lebih besar dari jerawat atau lipatan semacam kerutan saja memiliki nama. Dan jangan pernah engkau berpikir bahwa namanya singkat. Nama tersebut panjang macam mantra pada film harry potter contohnya saja Articulatio temporo mandibularis. Entahlah, menurutku itu sejenis mantra.

Ah, paling-paling teman-temanku tidak akan hapal dengan lubang yang saking kecilnya hanya bisa ditusuk oleh jarum pentul. Dan mana ada temanku yang ingat nama sambungan-sambungan dari tulang tersebut atau makna klinis dari cekungan yang tidak lebih jelas dari kantung mata. Gumamku santai dalam hati.

Aku salah, kali itu aku bahkan tidak mampu membedakan tampak depan atau belakang, tampak atas atau bawah, kanan atau kiri. Namun beberapa temanku degan yakin bisa mengidentifikasi tulang-tulang tersebut. Postest dimulai. Campur aduk raut muka teman-teman yang sedang menjalani praktikum pertama bersamaku. Namun satu yang bisa aku pastikan saat itu, nilaiku tidak akan baik.

Aku mencoba terus memperbaiki cara belajarku, sampai pada blok respiratory system di semester ketigaku. Aku mulai menyukai anatomi. Nilai pretest dan posttest selama praktikum menurutku juga lumayan. Dan yang membanggakan lagi nilai tentamenku mencapai 68. Walaupun tak kunjung diberi “Warna Merah” menurutku itu suatu pencapaian, aku tidak akan lupa.

Waktu terus berjalan hingga masuk di pertengahan semester 4, entah karena semangatku kian kendor atau karena terlalu sibuk dengan hal lain, untuk pertama kalinya aku dikeluarkan dari praktikum anatomi. Kamu tahu mengapa? Ya, Karena nilai pretestku bahkan tidak sampai 50. Kamu pikir aku malu? Ooh tidak, waktu itu hampir setengah dari peserta praktikum dikeluarkan dengan menyedihkan. Aku pikir, yaudahlah nggak papa, toh yang pinter juga banyak yang dikeluarin. Dan blok neurology memang terkenal susah.

Tapi aku salah, sekali lagi akudikeluarkan dalam praktikum ke dua blok neurology, kali ini bahannya tentang musculoskeletal. Kamu pikir aku malu? Ya, kali ini aku benar-benar malu. Aku merasa bagai keledai yang jatuh pada lubang yang sama. Dan kali ini peserta yang dikeluarkan hanya sedikit. Namun selidik punya selidik, beberapa temanku yang lulus juga mengaku tidak bisa mengerjakan pretest. Mereka hanya menebak jawabannya. Sial, aku tidak pernah bisa seberuntung itu. Rasanya aku ingin melenyapkan diri saat itu juga.

Kali ini aku masuk pada blok Special Sense sekarang aku tidak mau kejadian pada blok neuromuskuloskeletal terulang kembali. Aku mulai mentadabburi anatomi klinis karangan Keith L. Moore yang ku beli setahun lalu. Praktikum blok pertama Special Sense, seperti dugaan pretest lancar bagai lewat di jalan tol tengah malam jum’at kliwon.

Oke sekarang saatnya praktikum kedua blok Special Sense, aku kembali mempelajari anatomi klinis karena sekarang aku paham kopian modul dari angkatan 2011 sudah tidak bermanfaat. Tidak tahu mengapa kali ini saat pretest aku nervous berlebihan, aku punya firasat bahwa aku akan dikeluarkan. Benar saja, sekali lagi aku dilempar dari Lab Anatomi.

Tak banyak kata, kosong. Aku bingung harus berbuat apa. Aku sudah belajar dari jam 3 pagi sampai pukul 10. Soal yang tadi ditanya pun sebenarnya aku bisa menjawab. Aku memutuskan singgah di rumah Kak Nia dan Ammatu untuk menunggu jadwal prktikum selanjutnya.

“Siti ngapain? Kok udah pulang, udah selesai praktikumnya?” Tanya Kak Nia heran.
Dengan malas aku menjawab “Aku dikeluarin lagi kak dari praktikum anatomi”
Sambil prihatin Kak nia bilang “Yaudah belajar lagi, semangat Siti”


Di rumah Kak Nia aku banyak melamun, guling-guling di lantai, galau setengah mati. Ammatu yang iba akhirnya mau mengajari aku anatomi. Kami belajar lagi sampai jadwal praktikum berikutnya pukul 15.30. Pokoknya maju terus pantang mundur.

Pretest kembali dimulai. Bismillah aku harus lulus kali ini. Saat soal pertama dibacakan jantungku dag-dig-dug setengah mati, aku rasa bunyinya lebih kencang dari gendang orkes dangdut keliling. “Mati gue kenapa soalnya beda lagi, kok susah ya!” Soal kedua, ketiga juga agak rancu. Aku berusaha untuk terus possitive thinking. Aku sangat tersudut, tetapi apapun yang terjadi aku tidak boleh nyontek, please deh cuma pretest doang masa aku nyontek? Hina rasanya

Pretest selesai, sebelum pengumuman nilai pretest kami diberi kesempatan untuk salat Asar. Setelah salat asar aku kembali duduk manis di bangku paling depan. Berdo’a semoga kali ini aku tidak dikeluarkan.

Asisten anatomi pun maju untuk mengumumkan nilai. Kali itu kak Ivana yang maju kedepan. Aku melihat kertasku ada di tumpukan paling atas. Aku pucat. Aku menoleh ke Naris sahabat yang duduk tepat di belakangku. “Nar, kayaknya itu kertas gue deh” Naris Cuma bilang, “Kaga mungkin elah selow aja.” Lalu aku bilang ke Ika yang ada di samping kananku “Ika, itu kertas aku yang paling depan” Ika tidak menanggapiku, kulihat bibirnya sibuk komat-kamit dzikir.

Karena aku cukup dekat dengan Kak Ivana, selagi Ia duduk menunggu peserta praktikum yang belum selesai salat, aku bertanya dengan isyarat “Kak, Itu kertas gue ya paling depan?” Kak Ivana hanya mengangguk diam dengan muka sedih.

Aku langsung mengemas barang-barangku yang tercecer di meja dan lantai praktikum. Hanya tinggal menunggu menit aku akan dikeluarkan lagi. Sepulang di keluarkan paksa dari anatomi untuk ke sekian kalinya aku berencana untuk membeli baygon di Dar*ssalam swalayan. Aku kian putus asa.

Benar saja, namaku dipanggil paling pertama, disusul oleh nama teman-temanku. Ika kali ini baru “ngeh” kalau kata-kataku tadi bukan karena bercanda. Dan setelah namaku dipanggil, ternyata itu hanya untuk pembagian kelas praktikum. Aku tidak jadi dikeluarkan, huft. Alhamdulillah, sekarang semua praktikum anatomiku sudah selesai. Sekarang aku bisa move on dari anatomi.