![]() |
ilustrasi gambar http://mustlieliek.wordpress.com/ |
Buatku anatomi selalu menjadi
hal yang sangat“Prestige”. Bagaimana tidak,
setiap praktikum nilai pretestku harus
lulus standar Lab Anatomi. Dengan bahan buku modul seadanya, bahkan beberapa blok
terakhir tanpa buku modul. Aku harus belajar sendiri. Dan jika aku tidak lulus
aku akan diusir secara hina dan tidak diizinkan untuk belajar dengan teman sekelasku
yang lulus.
Bukan hanya itu, yang
lebih membuataku sadar bahwa anatomi adalah hal yang cukup bergengsi di
Fakultas Kedokteran ini adalah karena setiap
nilai tentamen dipajang di depan Lab Anatomi. Dan yang membanggakan bagi yang
mempunyai nilai tertinggi akan ada tanda “Merah” di namanya. Ketika aku berada
di kerumunan mahasiswa satu lettingku
yang berebutan melihat hasil tentamen akan terdengar suara dari berbagai arah “Wuusss keren banget si fulan nilainya”.
Saat itu pula aku mengangguk-angguk setuju.
Semester dua. Bahan untuk
masuk praktikum anatomi pertamaku sudah aku pegang bahkan semenjak awal libur
semester. Beramodal bahan yang aku dapatkan dari teman-teman, juga belajar teori
seadanya aku masuk praktikum pertama. Alhamdulillah…
kali pertama pretest anatomiku mulus.
Sampai pada pos demi
pos, aku tidak pernah menyangka bahwa sedikit saja ada lubang, atau tonjolan
yang bahkan tidak lebih besar dari jerawat atau lipatan semacam kerutan saja memiliki
nama. Dan jangan pernah engkau berpikir bahwa namanya singkat. Nama tersebut panjang
macam mantra pada film harry potter contohnya
saja Articulatio temporo mandibularis. Entahlah,
menurutku itu sejenis mantra.
Ah, paling-paling
teman-temanku tidak akan hapal dengan lubang yang saking kecilnya hanya bisa ditusuk
oleh jarum pentul. Dan mana ada temanku yang ingat nama sambungan-sambungan dari
tulang tersebut atau makna klinis dari cekungan yang tidak lebih jelas dari kantung
mata. Gumamku santai dalam hati.
Aku salah, kali itu aku bahkan tidak mampu membedakan tampak depan atau belakang, tampak atas atau bawah, kanan atau kiri. Namun beberapa temanku degan yakin bisa mengidentifikasi tulang-tulang tersebut. Postest dimulai. Campur aduk raut muka teman-teman yang sedang menjalani praktikum pertama bersamaku. Namun satu yang bisa aku pastikan saat itu, nilaiku tidak akan baik.
Aku mencoba terus memperbaiki
cara belajarku, sampai pada blok respiratory
system di semester ketigaku. Aku mulai menyukai anatomi. Nilai pretest dan posttest selama praktikum menurutku juga lumayan. Dan yang
membanggakan lagi nilai tentamenku mencapai 68. Walaupun tak kunjung diberi “Warna Merah” menurutku itu suatu pencapaian,
aku tidak akan lupa.
Waktu terus berjalan hingga
masuk di pertengahan semester 4, entah karena semangatku kian kendor atau karena
terlalu sibuk dengan hal lain, untuk pertama kalinya aku dikeluarkan dari praktikum
anatomi. Kamu tahu mengapa? Ya, Karena nilai pretestku bahkan tidak sampai 50. Kamu pikir aku malu? Ooh tidak,
waktu itu hampir setengah dari peserta praktikum dikeluarkan dengan menyedihkan.
Aku pikir, yaudahlah nggak papa, toh yang pinter juga banyak yang dikeluarin.
Dan blok neurology memang terkenal susah.
Tapi aku salah, sekali lagi
akudikeluarkan dalam praktikum ke dua blok neurology, kali ini bahannya tentang
musculoskeletal. Kamu pikir aku malu? Ya, kali ini aku benar-benar malu. Aku merasa
bagai keledai yang jatuh pada lubang yang sama. Dan kali ini peserta yang
dikeluarkan hanya sedikit. Namun selidik punya selidik, beberapa temanku yang
lulus juga mengaku tidak bisa mengerjakan pretest.
Mereka hanya menebak jawabannya. Sial, aku
tidak pernah bisa seberuntung itu. Rasanya aku ingin melenyapkan diri saat itu juga.
Kali ini aku masuk pada
blok Special Sense sekarang aku tidak
mau kejadian pada blok neuromuskuloskeletal terulang kembali. Aku mulai mentadabburi
anatomi klinis karangan Keith L. Moore yang ku beli setahun lalu. Praktikum blok
pertama Special Sense, seperti dugaan
pretest lancar bagai lewat di jalan
tol tengah malam jum’at kliwon.
Oke sekarang saatnya
praktikum kedua blok Special Sense,
aku kembali mempelajari anatomi klinis karena sekarang aku paham kopian modul
dari angkatan 2011 sudah tidak bermanfaat. Tidak tahu mengapa kali ini saat pretest aku nervous berlebihan, aku punya firasat bahwa aku akan dikeluarkan.
Benar saja, sekali lagi aku dilempar dari Lab Anatomi.
Tak banyak kata,
kosong. Aku bingung harus berbuat apa. Aku sudah belajar dari jam 3 pagi sampai
pukul 10. Soal yang tadi ditanya pun sebenarnya aku bisa menjawab. Aku
memutuskan singgah di rumah Kak Nia dan Ammatu untuk menunggu jadwal prktikum
selanjutnya.
“Siti
ngapain? Kok udah pulang, udah selesai praktikumnya?”
Tanya Kak Nia heran.
Dengan malas aku
menjawab “Aku dikeluarin lagi kak dari
praktikum anatomi”
Sambil prihatin Kak nia
bilang “Yaudah belajar lagi, semangat
Siti”
Di rumah Kak Nia aku
banyak melamun, guling-guling di lantai, galau setengah mati. Ammatu yang iba
akhirnya mau mengajari aku anatomi. Kami belajar lagi sampai jadwal praktikum
berikutnya pukul 15.30. Pokoknya maju terus pantang mundur.
Pretest
kembali dimulai. Bismillah aku harus lulus kali ini. Saat soal pertama
dibacakan jantungku dag-dig-dug setengah mati, aku rasa bunyinya lebih kencang
dari gendang orkes dangdut keliling. “Mati
gue kenapa soalnya beda lagi, kok susah ya!” Soal kedua, ketiga juga agak
rancu. Aku berusaha untuk terus possitive
thinking. Aku sangat tersudut, tetapi apapun yang terjadi aku tidak boleh
nyontek, please deh cuma pretest doang
masa aku nyontek? Hina rasanya
Pretest
selesai, sebelum pengumuman nilai pretest
kami diberi kesempatan untuk salat Asar. Setelah salat asar aku kembali duduk
manis di bangku paling depan. Berdo’a semoga kali ini aku tidak dikeluarkan.
Asisten anatomi pun
maju untuk mengumumkan nilai. Kali itu kak Ivana yang maju kedepan. Aku melihat
kertasku ada di tumpukan paling atas. Aku pucat. Aku menoleh ke Naris sahabat
yang duduk tepat di belakangku. “Nar,
kayaknya itu kertas gue deh” Naris Cuma bilang, “Kaga mungkin elah selow aja.” Lalu aku bilang ke Ika yang ada di
samping kananku “Ika, itu kertas aku yang
paling depan” Ika tidak menanggapiku, kulihat bibirnya sibuk komat-kamit
dzikir.
Karena aku cukup dekat
dengan Kak Ivana, selagi Ia duduk menunggu peserta praktikum yang belum selesai
salat, aku bertanya dengan isyarat “Kak,
Itu kertas gue ya paling depan?” Kak Ivana hanya mengangguk diam dengan
muka sedih.
Aku langsung mengemas
barang-barangku yang tercecer di meja dan lantai praktikum. Hanya tinggal
menunggu menit aku akan dikeluarkan lagi. Sepulang di keluarkan paksa dari
anatomi untuk ke sekian kalinya aku berencana untuk membeli baygon di Dar*ssalam
swalayan. Aku kian putus asa.
Benar saja, namaku
dipanggil paling pertama, disusul oleh nama teman-temanku. Ika kali ini baru “ngeh” kalau kata-kataku tadi bukan
karena bercanda. Dan setelah namaku dipanggil, ternyata itu hanya untuk
pembagian kelas praktikum. Aku tidak jadi dikeluarkan, huft. Alhamdulillah, sekarang semua praktikum
anatomiku sudah selesai. Sekarang aku bisa move
on dari anatomi.